KM Parapi: Pada era tahun 1980-an, Doro (gunung) Kabuju sangat menarik perhatian anak-anak. Dijadikan tempat bermain dan tentu saja mencari kayu bakar. Usai shalat Idul Fitri, ada tradisi memburu babi (nggalo wawi) yang menyita perhatian. Tetapi, ada dua objek yang juga tidak kalah menariknya. Yaitu Ina Nenggu dan Wadu Koka.
Sebenarnya, lokasinya mudah
didatangi. Hanya sekitar 30 meter dan 100 meter dari ruas jalan Negara sebelum
memasuki Kota Sape. Atu sekitar 200 meter dari Dam Raba Semen. Jika Ina Nenggu
bisa diintip dari jalan raya, maka Wadu Koka sedikit membutuhkan tenaga. Mesti
mendaki pegunungan sekitar belasan menit.
Dia areal Wadu Koka, kita bisa
melihat pemandangan Sape dari atas pegunungan. Indah memesona. Terutama pada
pagi dan sore hari. Menengok ke arah Utara, terlihat hamparan sawah di sekitar
pekuburan umum Sape. Dam Raba Semen juga terlihat kukuh berdiri. Warisan
Belanda itu memang memiliki pesona karena kekuatan konstruksinya. Namun, melongok ke Utara pula terlihat
pegunungan ‘bopeng’ karena dijadikan ladang oleh warga sekitar.
Wadu Koka memiliki panjang
sekitar satu meter dengan diameter 75 centimeter. Era 80-an, anak-anak di
sekitar gunung itu menjadikannya sebagai tempat bermain. Mereka membahasnya
dengan menduga-duga bagaimana besarnya makhluk itu dalam kenyataannya. Cerita
dari mulut ke mulut semakin menambah penasaran. Hanya saja, tapak makhluk itu
hanya satu. Kemana satunya lagi? Entahlah, tidak ada yang tahu.
Namun, ada juga versi lainnya. Bentuk
batu seperti tapak kaki itu dihasilkan oleh kejadian alam belaka. Terbentuk melalui
proses lama dan kebetulan mirip tapak kaki berukuran raksasa. Proses alam memang kadang menakjubkan. Alam seolah memberi
sinyal bahwa manusia tidak boleh lupa terhadapnya. Harus mencintai dan merawatnya.
Firdaus, warga Sape yang sekarang
tinggal di Provinsi Banten, mengaku senang bisa melihat lagi areal itu dari
dekat. Kenangan waktu kecil saat bersama teman-temannya bermain di situ terkuak
lagi. Suatu memori yang tidak akan pernah hilang.
Makanya, ketika pulang kampung
beberapa waktu lalu, dia melihat lagi batu itu dan mengajak anak dan istri. Dia mengaku keluarganya senang melihat areal
mitos yang membangun kenangan masa kecilnya itu.
Berada di atas gunung itu, ada
suasana lain terasa hadir karena bisa melihat panorama indah sekeliling. Berteriak
lepas, sekencang-kencangnya.
Warga lainnya, H. Ahmad, berharap
pemerintah memikirkan penataan areal itu, paling tidak membuatkan tangga atau memagar
untuk kebutuhan wisata alam. Pada masa depan, masyarakat cenderung ‘lari’ pada
objek-objek alam karena jenuh dengan suasana modern. Nah, Wadu Koka adalah satu
di antara sekian objek yang bisa disentuh untuk dipoles. (BM)
Posting Komentar