KM Parapi: Sejarawan Universitas
Indonesia (UI), Profesor Anhar Gonggong, menyorot peran Raja dan Sultan. Kesan selama
ini yang muncul ke permukaan, Raja dan Sultan di Nusantara acap memainkan peran
ganda. Bersenjatakan simbol kebesaran sebagai kaum bangsawan untuk merebut
kekuasaan pemerintahan dan simpati masyarakat.
Kritikan disampaikannya di Bima
saat menghadiri seminar dalam rangkaian acara Festival Keraton Nusantara IX.
Anhar menilai, peran ganda ini
sangat merugikan Raja dan Sultan itu sendiri sebagai manifesto sejarah
peradaban bangsa. Mestinya, Raja maupun mantan Raja tidak boleh masih
merasa menjadi penguasa lain dalam konteks Negara Republik Indonesia.
Peran
Raja seharusnya dalam tataran sosial dan budaya. Kalau Raja atau Sultan mau
bermain politik bisa saja, tetapi dalam konteks sebagai warga Negara Indonesia,
tidak sebagai Sultan. “Sebabnya, tidak menutup kemungkinan, Raja atau Sultan
disetujui rakyatnya sebagai Bupati atau menjadi Gubernur,” katanya.
Anhar pun menilai, dalam hal pengaruh pada
kehidupan bermasyarakat, bisa saja ada masyarakat lain dari kalangan bawah yang
memiliki pengaruh lebih dari raja,
sultan maupun keturunannya. Untuk itu,
bila ingin mengambil peranan dalam panggung politik jangan memakai
simbol kebangsawanan.
Hal yang bisa dilakukan dalam
kerangka Negara Republik, katanya, bisa berkarya melalui tulisan, seperti
menulis buku. Sumbernya adalah sumber-sumber sejarah dan budaya sendiri, bukan
malah memberikannya kepada orang asing. (BA)
Posting Komentar